Baru-baru ini negara kita kedatangan tamu dari Amerika Serikat, yaitu
Presiden Barrack Obama. Banyak pendapat pro-kontra tentang kedatangannya
itu. Lalu sebagai muslim bagaimanakah seharusnya kita bersikap? berikut
ww [dot] com sajikan ulasannya buat kamu.
Ketahuilah
rekan-rekan semua, seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari
akhir akan mengimani wajibnya memuliakan tamu sehingga ia akan
menempatkannya sesuai dengan kedudukannya.
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلأخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari)
Berikut ini adalah adab-adab yang berkaitan dengan tamu dan bertamu.
Pembahasan ini dalam dua bagian, yaitu adab bagi bagi tamu dan adab bagi tuan rumah.
a. Adab Bagi Tamu1.
Bagi seorang yang diundang, hendaknya memenuhinya sesuai waktunya
kecuali ada udzur, seperti takut ada sesuatu yang menimpa dirinya atau
agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
مَنْ دُعِىَ فَلْيُجِبْ
“Barangsiapa yang diundang maka datangilah!” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْـوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُوْلَهُ
“Barang siapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari)
Untuk menghadiri undangan maka hendaknya memperhatikan syarat-syarat berikut:
* Orang yang mengundang bukan orang yang harus dihindari dan dijauhi.
* Tidak ada kemungkaran pada tempat undangan tersebut.
* Orang yang mengundang adalah muslim.
* Penghasilan orang yang mengundang bukan dari penghasilan yang
diharamkan. Namun, ada sebagian ulama menyatakan boleh menghadiri
undangan yang pengundangnya berpenghasikan haram. Dosanya bagi orang
yang mengundang, tidak bagi yang diundang.
* Tidak menggugurkan suatu kewajiban tertentu ketika menghadiri undangan tersebut.
* Tidak ada mudharat bagi orang yang menghadiri undangan.
2. Hendaknya tidak membeda-bedakan siapa yang mengundang, baik orang yang kaya ataupun orang yang miskin.
3.
Berniatlah bahwa kehadiran kita sebagai tanda hormat kepada sesama
muslim. Sebagaimana hadits yang menerangkan bahwa, “Semua amal
tergantung niatnya, karena setiap orang tergantung niatnya.” (HR.
Bukhari Muslim)
4. Masuk dengan seizin tuan rumah, begitu juga
segera pulang setelah selesai memakan hidangan, kecuali tuan rumah
menghendaki tinggal bersama mereka, hal ini sebagaimana dijelaskan Allah
ta’ala dalam firman-Nya:
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَدْخُـلُوْا بُيُـوْتَ النَّبِي ِّإِلاَّ أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى
طَـعَامٍ غَيْرَ نَاظِـرِيْنَ إِنهُ وَلِكنْ إِذَا دُعِيْتُمْ فَادْخُلُوْا
فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِـرُوْا وَلاَ مُسْتَئْنِسِيْنَ لِحَدِيْثٍ
إَنَّ ذلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحِي مِنْكُمْ وَاللهُ لاَ
يَسْتَحِي مِنَ اْلحَقِّ
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan
untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun,
jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah
kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan
mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar.
Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Qs. Al Azab: 53)
5.
Apabila kita dalam keadaan berpuasa, tetap disunnahkan untuk menghadiri
undangan karena menampakkan kebahagiaan kepada muslim termasuk bagian
ibadah. Puasa tidak menghalangi seseorang untuk menghadiri undangan,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَاِئمًا فَلْيُصَِلِّ وِإِنْ كَانَ مُفْـطِرًا فَلْيُطْعِمْ
“Jika
salah seorang di antara kalian di undang, hadirilah! Apabila ia puasa,
doakanlah! Dan apabila tidak berpuasa, makanlah!” (HR. Muslim)
6.
Seorang tamu meminta persetujuan tuan untuk menyantap, tidak
melihat-lihat ke arah tempat keluarnya perempuan, tidak menolak tempat
duduk yang telah disediakan.
7. Termasuk adab bertamu adalah tidak banyak melirik-lirik kepada wajah orang-orang yang sedang makan.
8.
Hendaknya seseorang berusaha semaksimal mungkin agar tidak memberatkan
tuan rumah, sebagaimana firman Allah ta’ala dalam ayat di atas: “Bila
kamu selesai makan, keluarlah!” (Qs. Al Ahzab: 53)
9. Sebagai
tamu, kita dianjurkan membawa hadiah untuk tuan rumah karena hal ini
dapat mempererat kasih sayang antara sesama muslim,
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah hadiah di antara
kalian! Niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
10.
Jika seorang tamu datang bersama orang yang tidak diundang, ia harus
meminta izin kepada tuan rumah dahulu, sebagaimana hadits riwayat Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ مِنَ اْلأَنْصَارِ رَجـُلٌ
يُقَالُ لُهُ أَبُوْ شُعَيْبُ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لِحَامٌ فَقَالَ
اِصْنَعْ لِي طَعَامًا اُدْعُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ رَسُوْلَ اللهِ
صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ
وَهذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ اْذَنْ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ
تَرَكْتُهُ قَالَ بَلْ أَذْنْتُ لَهُ
“Ada seorang laki-laki di
kalangan Anshor yang biasa dipanggil Abu Syuaib. Ia mempunyai seorang
anak tukang daging. Kemudian, ia berkata kepadanya, “Buatkan aku makanan
yang dengannya aku bisa mengundang lima orang bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengundang empat orang yang orang kelimanya adalah beliau.
Kemudian, ada seseorang yang mengikutinya. Maka, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau mengundang kami lima orang dan orang
ini mengikuti kami. Bilamana engkau ridho, izinkanlah ia! Bilamana
tidak, aku akan meninggalkannya.” Kemudian, Abu Suaib berkata, “Aku
telah mengizinkannya.”" (HR. Bukhari)
11. Seorang tamu hendaknya
mendoakan orang yang memberi hidangan kepadanya setelah selesai
mencicipi makanan tersebut dengan doa:
أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ, وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارَ,وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ اْلمَلاَئِكَةُ
“Orang-orang
yang puasa telah berbuka di samping kalian. Orang-orang yang baik telah
memakan makanan kalian. semoga malaikat mendoakan kalian semuanya.” (HR
Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albani)
اَللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي, وَاْسقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya
Allah berikanlah makanan kepada orang telah yang memberikan makanan
kepadaku dan berikanlah minuman kepada orang yang telah memberiku
minuman.” (HR. Muslim)
اَللّهُـمَّ اغْـفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْ لَهُمْ فِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah ampuni dosa mereka dan kasihanilah mereka serta berkahilah rezeki mereka.” (HR. Muslim)
12.
Setelah selesai bertamu hendaklah seorang tamu pulang dengan lapang
dada, memperlihatkan budi pekerti yang mulia, dan memaafkan segala
kekurangan tuan rumah.
b. Adab Bagi Tuan Rumah1.
Ketika mengundang seseorang, hendaknya mengundang orang-orang yang
bertakwa, bukan orang yang fajir (bermudah-mudahan dalam dosa),
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا,وَلاَ يَأْكُلُ طَعَامَك َإِلاَّ تَقِيٌّ
“Janganlah
engkau berteman melainkan dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan
makananmu melainkan orang yang bertakwa!” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
2.
Tidak mengkhususkan mengundang orang-orang kaya saja, tanpa mengundang
orang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ ، وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ
“Sejelek-jelek
makanan adalah makanan walimah di mana orang-orang kayanya diundang dan
orang-orang miskinnya ditinggalkan.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tidak mengundang seorang yang diketahui akan memberatkannya kalau diundang.
4.
Disunahkan mengucapkan selamat datang kepada para tamu sebagaimana
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya
tatkala utusan Abi Qais datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Beliau bersabda,
مَرْحَبًا بِالْوَفْدِ الَّذِينَ جَاءُوا غَيْرَ خَزَايَا وَلاَ نَدَامَى
“Selamat datang kepada para utusan yang datang tanpa merasa terhina dan menyesal.” (HR. Bukhari)
5.
Menghormati tamu dan menyediakan hidangan untuk tamu makanan semampunya
saja. Akan tetapi, tetap berusaha sebaik mungkin untuk menyediakan
makanan yang terbaik. Allah ta’ala telah berfirman yang mengisahkan Nabi
Ibrahim ‘alaihis salam bersama tamu-tamunya:
فَرَاغَ إِلىَ أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍ . فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ آلاَ تَأْكُلُوْنَ
“Dan
Ibrahim datang pada keluarganya dengan membawa daging anak sapi gemuk
kemudian ia mendekatkan makanan tersebut pada mereka (tamu-tamu
Ibrahim-ed) sambil berkata: ‘Tidakkah kalian makan?’” (Qs. Adz-Dzariyat:
26-27)
6. Dalam penyajiannya tidak bermaksud untuk
bermegah-megah dan berbangga-bangga, tetapi bermaksud untuk mencontoh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Nabi sebelum beliau,
seperti Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Beliau diberi gelar “Abu Dhifan”
(Bapak para tamu) karena betapa mulianya beliau dalam menjamu tamu.
7. Hendaknya juga, dalam pelayanannya diniatkan untuk memberikan kegembiraan kepada sesama muslim.
8. Mendahulukan tamu yang sebelah kanan daripada yang sebelah kiri. Hal ini dilakukan apabila para tamu duduk dengan tertib.
9. Mendahulukan tamu yang lebih tua daripada tamu yang lebih muda, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيْرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang
siapa yang tidak mengasihi yang lebih kecil dari kami serta tidak
menghormati yang lebih tua dari kami bukanlah golongan kami.” (HR
Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad). Hadits ini menunjukkan perintah
untuk menghormati orang yang lebih tua.
10. Jangan mengangkat makanan yang dihidangkan sebelum tamu selesai menikmatinya.
11.
Di antara adab orang yang memberikan hidangan ialah mengajak mereka
berbincang-bincang dengan pembicaraan yang menyenangkan, tidak tidur
sebelum mereka tidur, tidak mengeluhkan kehadiran mereka, bermuka manis
ketika mereka datang, dan merasa kehilangan tatkala pamitan pulang.
12.
Mendekatkan makanan kepada tamu tatkala menghidangkan makanan tersebut
kepadanya sebagaimana Allah ceritakan tentang Ibrahim ‘alaihis salam,
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ
“Kemudian Ibrahim mendekatkan hidangan tersebut pada mereka.” (Qs. Adz-Dzariyat: 27)
13. Mempercepat untuk menghidangkan makanan bagi tamu sebab hal tersebut merupakan penghormatan bagi mereka.
14.
Merupakan adab dari orang yang memberikan hidangan ialah melayani para
tamunya dan menampakkan kepada mereka kebahagiaan serta menghadapi
mereka dengan wajah yang ceria dan berseri-seri.
15. Adapun masa penjamuan tamu adalah sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الضِّيَافَةُ
ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيَْلَةٌ وَلاَ يَحِلُّ
لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقيْمَ عِنْدَ أَخِيْهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ
قاَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمَهُ؟ قَالَ :يُقِيْمُ عِنْدَهُ
وَلاَ شَيْئَ لَهُ يقْرِيْهِ بِهِ
“Menjamu tamu adalah tiga hari,
adapun memuliakannya sehari semalam dan tidak halal bagi seorang muslim
tinggal pada tempat saudaranya sehingga ia menyakitinya.” Para sahabat
berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana menyakitinya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata: “Sang tamu tinggal bersamanya sedangkan ia
tidak mempunyai apa-apa untuk menjamu tamunya.”
16. Hendaknya mengantarkan tamu yang mau pulang sampai ke depan rumah.